IPS8
Kelas VIII
Cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa
Jatuhnya kaum liberal di Parlemen Belanda menyebabkan
pemerintahan didominasi kaum
konservatif. Gubernur Jenderal van der Capellen digantikan oleh Gubernur
Jenderal van den Bosch, 16 Januari 1830.
Pada tahun 1830 mulai diterapkan aturan yang disebut
Cultuurstelsel. Cultuurstelsel dalam bahasa Inggris adalah Cultivation System
yang memiliki arti sistem tanam.
Cultuurstelsel disebut juga Sistem Tanam Paksa, adalah
peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada
tahun 1830 yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%)
untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, teh, lada, kina, dan
tembakau.dan tarum (nila).
Sistem tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa-desa
di Jawa berutang sewa tanah kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan
senilai 40% dari hasil panen utama desa yang bersangkutan.
Van den Bosch ingin setiap desa menyisihkan sebagian
tanahnya untuk ditanam komoditi ekspor ke Eropa (kopi, tebu, dan nila).
Penduduk dipaksa untuk menggunakan sebagian tanah garapan (minimal seperlima
luas, 20%) dan menyisihkan sebagian hari kerja untuk bekerja bagi pemerintah.
Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi
utang pajak tanahnya. Bila pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu
lebih banyak daripada pajak tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima
kelebihannya. Jika kurang, desa tersebut mesti membayar kekurangan tadi dari
sumber-sumber lain.
Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak
tahun 1830 sampai tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya
berjalan di Jawa.
Cultuurstelsel diberlakukan dengan
tujuan memperoleh pendapatan
sebanyak mungkin dalam waktu relatif singkat. Dengan harapan utang-utang
Belanda yang besar dapat diatasi. Berikut ini pokok-pokok cultuurstelsel.
Pokok-Pokok
Sistem Tanam Paksa
- Rakyat wajib menyiapkan 1/5 dari lahan garapan untuk ditanami tanaman wajib.
- Lahan tanaman wajib bebas pajak, karena hasil yang disetor sebagai pajak.
- Setiap kelebihan hasil panen dari jumlah pajak akan dikembalikan.
- Tenaga dan waktu yang diperlukan untuk menggarap tanaman wajib, tidak boleh melebihi waktu yang diperlukan untuk menanam padi.
- Rakyat yang tidak memiliki tanah wajib bekerja selama 66 hari dalam setahun di perkebunan atau pabrik milik pemerintah.
- Jika terjadi kerusakan atau gagal panen, menjadi tanggung jawab pemerintah.
- Pelaksanaan tanam paksa diserahkan sepenuhnya kepada para penguasa pribumi (kepala desa).
Untuk mengawasi
pelaksanaan tanam paksa, Belanda menyandarkan pada sistem tradisional dan feodal. Para bupati dipekerjakan sebagai
mandor/pengawas dalam tanam paksa. Para bupati
sebagai perantara tinggal meneruskan perintah dari pejabat Belanda.
Kalau melihat pokok-pokok cultuurstelsel dilaksanakan
dengan semestinya merupakan aturan yang baik. Namun praktik di lapangan jauh
dari pokok-pokok tersebut atau dengan kata lain terjadi penyimpangan.
Penyimpangan ini terjadi karena penguasa lokal, tergiur
oleh janji Belanda yang menerapkan sistem cultuur procenten. Cultuur procenten = prosenan tanaman adalah
hadiah dari pemerintah bagi penguasa pribumi / kepala desa yang dapat menyerahkan
hasil panen melebihi target dengan tepat waktu.
Berikut
ini penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam sistem tanam paksa.
- Tanah yang harus diserahkan rakyat cenderung melebihi dari ketentuan 1/5.
- Tanah yang ditanami tanaman wajib tetap ditarik pajak
- Rakyat yang tidak punya tanah garapan ternyata bekerja di pabrik atau perkebunan lebih dari 66 hari atau 1/5 tahun.
- Kelebihan hasil tanam dari jumlah pajak ternyata tidak dikembalikan.
- Jika terjadi gagal panen ternyata ditanggung petani.
Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktik
ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam
dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara
yang sangat dibutuhkan pemerintah.
Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi
tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya
dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang
memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal
Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940.
Sistem Tanam Paksa ini benar-benar dapat menciptakan
kemakmuran dan kesejahteraan negeri
Belanda, Van den Bosch selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh raja
Belanda, pada 25 Desember 1839.
Bagi rakyat di Pulau Jawa, sistem tanam paksa dirasakan
sebagai bentuk penindasan yang sangat menyengsarakan rakyat. Rakyat menjadi
melarat dan menderita. Terjadi kelaparan yang menghebat di Cirebon (1844),
Demak (1848), dan Grobogan (1849). Kelaparan mengakibatkan kematian
penduduk meningkat.
Adanya berita kelaparan menimbulkan berbagai reaksi, baik dari rakyat Indonesia
maupun orang-orang Belanda. Rakyat selalu mengadakan perlawanan tetapi tidak
pernah berhasil, karena bergerak sendiri-sendiri secara sporadis dan tidak terorganisasi secara baik.
Reaksi dari Belanda sendiri yaitu adanya pertentangan
dari golongan liberal dan humanis terhadap pelaksanaan sistem tanam paksa yang
dianggap berakibat menyengsarakan rakyat jajahan.
Masyarakat di negeri Belanda merasa malu dihadapan
masyarakat eropa lain, bahwa kemakmuran yang mereka capai diperoleh dari
kesengsaraan rakyat jajahan.
Pada tahun 1860, Edward Douwes Dekker yang dikenal dengan
nama samaran Multatuli menerbitkan sebuah buku yang berjudul “Max Havelar”.
Buku ini berisi tentang keadaan pemerintahan kolonial yang bersifat menindas dan korup di Jawa.
Di samping Douwes Dekker, juga ada tokoh lain yang
menentang tanam paksa yaitu Baron van
Hoevel, dan Fransen van de Putte yang menerbitkan artikel “Suiker Contracten” (perjanjian gula).
Menghadapi berbagai reaksi yang ada, pemerintah Belanda
mulai menghapus sistem tanam paksa, namun secara bertahap. Sistem tanam paksa
secara resmi dihapuskan pada tahun 1870 berdasarkan UU Landreform (UU Agraria),
yang mengawali era liberalisasi ekonomi dalam sejarah penjajahan Indonesia.
Meskipun Tanam Paksa sangat memberatkan rakyat, namun di
sisi lain juga memberikan pengaruh yang positif
terhadap rakyat, yaitu:
1) terbukanya
lapangan pekerjaan,
2) rakyat mulai
mengenal tanaman-tanaman baru
3) rakyat
mengenal cara menanam yang baik
Sumber: damaruta.blogspot.com dari sooal.blogspot.com